Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani
Tuesday, February 11, 2020
Add Comment
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani
Muhammad Nawawi at-Tanara al-Bantani al-Jawi |
|
Lukisan Syekh Nawawi al-Bantani
|
|
IDENTITAS
|
|
Nama
|
|
Abu Abdul Mu'ti
|
|
Nama
|
Muhammad Nawawi
|
Nisbah
|
at-Tanara al-Bantani al-Jawi
|
Nama lainnya
|
|
Syekh Nawawi
|
|
Kelahirannya
|
|
Nama lahir
|
|
Muhammad Nawawi bin Umar
|
|
Tanggal lahir
|
|
Tempat lahir
|
|
Orang tua
|
|
Umar (ayah)
Zubaedah (ibu) |
Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (bahasa Arab: محمد نووي الجاوي البنتني) atau sering disebut juga Syekh Nawawi al-Bantani (lahir di Tanara, Serang, 1230 H/1813 M dan meninggal di Mekkah, Hijaz 1314 H/1897 M) adalah seorang
ulama Indonesia bertaraf Internasional yang menjadi Imam Masjidil Haram. Ia bergelar al-Bantani karena
berasal dari provinsi Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat
produktif menulis kitab, jumlah karyanya tidak kurang dari 115 kitab yang
meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Karena kemasyhurannya, Syekh Nawawi al-Bantani
kemudian dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama
Hijaz), al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam
yang Mumpuni ilmunya), A'yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh
Ulama Abad 14 Hijriyah), hingga Imam Ulama
al-Haramain, (Imam 'Ulama Dua Kota Suci).
Biografi
Syekh Nawawi lahir dalam tradisi
keagamaan yang sangat kuat di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten (Sekarang di Kampung
Pesisir, Desa Padaleman,
Kecamatan Tanara, Serang) sebuah wilayah paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat, tetapi menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang.
Pada tahun
1230 Hijriyah atau 1815 Masehi, Syekh Nawawi lahir dengan nama Muhammad Nawawi bin 'Umar bin 'Arabi
al-Bantani. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin,
Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Ia merupakan generasi ke-12
dari Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Nasabnya melalui jalur Kesultanan Banten ini sampai kepada Nabi Muhammad .
Ayah Syekh Nawawi merupakan seorang
Ulama lokal di Banten, Syekh Umar bin Arabi al-Bantani,
sedangkan ibunya bernama Zubaedah, seorang ibu rumah tangga biasa.
Syaikh Nawawi menikah dengan Nyai
Nasimah, gadis asal Tanara, Serang dan dikaruniai
3 orang anak: Nafisah, Maryam, Rubi'ah. Sang istri wafat mendahului dia.
Pendidikan
Sejak berusia lima tahun, Syekh Nawawi
sudah mulai belajar ilmu agama Islam langsung
dari ayahnya. Bersama saudara-saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari
tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir. Pada usia delapan tahun bersama kedua adiknya, Tamim
dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada K.H. Sahal, salah seorang ulama terkenal
di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba
ilmu kepada Syekh Baing
Yusuf Purwakarta.
Di usianya yang belum genap lima belas
tahun, Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang, sampai kemudian ia mencari
tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian
hari bertambah banyak. Baru setelah usianya mencapai lima belas tahun, Syekh Nawawi
menunaikan haji dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama masyhur
di Mekah saat itu.
Peranan dan Perjuangan
Nasionalisme
dan Pengabdian di Masjidil Haram
Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, Syekh Nawawi pulang ke Banten sekitar tahun 1828 Masehi. Sampai di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan
pemerintah Hindia Belanda terhadap
rakyat. Tak ayal, gelora jihad pun berkobar. Sebagai intelektual yang memiliki
komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi
kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan
terhadap penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya, seperti dilarang
berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan dia dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang
ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825 - 1830 Masehi), hingga akhirnya ia kembali ke Mekkah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda, tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830.
Begitu sampai di Mekkah dia segera kembali memperdalam ilmu agama kepada
guru-gurunya.
Syekh Nawawi mulai masyhur ketika
menetap di Syi'ib 'Ali, Mekkah. Dia mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula
muridnya cuma puluhan, tetapi semakin lama jumlahnya kian banyak. Mereka datang
dari berbagai penjuru dunia. Hingga jadilah Syekh Nawawi al-Bantani sebagai
ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama Syekh Nawawi al-Bantani semakin
masyhur ketika dia ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram, menggantikan Syaikh Achmad Khotib
Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekkah dan Madinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Suriah, Mesir, Turki,
hingga Hindustan namanya begitu masyhur.
Gelar-gelar
Di antara gelar kehormatan yang
disematkan kepada Syekh Nawawi al-Bantani adalah sebagai berikut:
2.
Nawawi at-Tsani (Nawawi kedua).
Orang pertama yang memberi gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Wan Ahmad bin Muhammad
Zain al-Fathani
3. al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat
mendalam)
5. Imam 'Ulama Al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci)
6. Doktor Ketuhanan (orang
pertama yang memberikan gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Christiaan Snouck
Hurgronje)
7. asy-Syaikh al-Fakih (disematkan oleh kalangan pesantren)
Karya-Karyanya
Kepakaran Syekh Nawawi tidak diragukan
lagi. Ulama asal Mesir, Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar dalam kitabnya "al-Durus
min Madhi al-Ta'lim wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram” (beberapa
kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram)
menulis bahwa Syekh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai
seratus judul lebih yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya
yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.
Sebagian dari karya-karya Syekh Nawawi
di antaranya adalah sebagai berikut:
1. al-Tsamar
al-Yani'ah syarah al-Riyadl al-Badi'ah
2. al-'Aqd
al-Tsamin syarah Fath al-Mubîn
3. Sullam
al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
4. Baĥjah
al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5. al-Tausyîh/
Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
6. Niĥâyah
al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
7. Marâqi
al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
8. Nashâih
al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
9. Salâlim
al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
10.
Qâmi’u
al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
11.
al-Tafsir
al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil
musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
12.
Kasyf
al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13.
Fath
al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib
al-Jaliyyah
14.
Nur
al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
15.
Tanqîh
al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
16.
Madârij
al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
17.
Targhîb
al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
18.
Fath
al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
19.
Fath
al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
20.
Tîjân
al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
21.
Fath
al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
22.
Murâqah
Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
23.
Kâsyifah
al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
24.
al-Futûhâh
al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
25.
‘Uqûd
al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
26.
Qathr
al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
27.
Naqâwah
al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
28.
al-Naĥjah
al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
29.
Sulûk
al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
30.
Hilyah
al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
31.
al-Fushûsh
al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
32.
al-Riyâdl
al-Fauliyyah
33.
Mishbâh
al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
34.
Dzariyy’ah
al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
35.
al-Ibrîz
al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
36.
Baghyah
al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
37.
al-Durrur
al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
38.
Lubâb
al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, al-Munir, sangat
monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya
Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan
Imam Jalaluddin al-Mahalli yang
sangat terkenal. Sementara Kasyifah al-Saja merupakan syarah atau komentar terhadap
kitab fiqih Safinatun Najah, karya
Syekh Salim bin Sumeir al-Hadhramy. Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah
misalnya adalah Tijan ad-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Sementara dalam
bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya dia di bidang Ilmu
Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja, dan yang
sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa yaitu
Syarah ’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain. Adapun Qami'u al-Thugyan,
Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf.
Karamah
Telunjuk Bersinar dan Dapat Menjadi Lampu Penerang
Pada suatu waktu di sebuah perjalanan
dalam syuqduf (rumah-rumahan di punggung unta) Syekh Nawawi
pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuknya sebagai lampu. Hal
tersebut terjadi karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yang ia
tumpangi, sementara aspirasi untuk menulis kitab tengah kencang mengisi kepalanya.
Syekh Nawawi kemudian berdoa kepada Allah agar
telunjuk kirinya dapat menjadi lampu, menerangi jari kanan yang akan
digunakannya untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Maraqi
al-'Ubudiyyah syarah Matan Bidayah al-Hidayah itu
harus dibayarnya dengan cacat pada jari telunjuk kiri, karena cahaya yang
diberikan Allah pada telunjuk kirinya itu membawa bekas yang tidak hilang.
Melihat Ka'bah dari Tempat Lain yang Jauh
Karamah lain Syekh Nawawi juga
diperlihatkannya di saat ia mengunjungi Masjid Pekojan, Jakarta. Masjid yang dibangun oleh Sayyid Utsman bin 'Agil bin
Yahya al-'Alawi (mufti Betawi keturunan Rasulullah ) itu ternyata memiliki kiblat yang
salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsman sendiri[18].
Tak ayal, saat Syekh Nawawi yang
dianggapnya hanya seorang anak remaja tak dikenal menyalahkan penentuan kiblat,
Sayyid Utsman sangat terkejut. Diskusipun terjadi antara keduanya, Sayyid
Utsmân tetap berpendirian bahwa kiblat Mesjid Pekojan tersebut sudah benar,
sementara Syekh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat haruslah dibetulkan. Saat
kesepakatan tidak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya
dengan keras, Syekh Nawawi remaja menarik lengan baju Sayyid Utsmân dan
dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat, kemudian berkata:
“
|
"Lihatlah Sayyid!, itulah
Ka'bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka'bah itu
terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah
kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke arah Ka'bah."
|
”
|
Sayyid Utsman termangu. Ka'bah yang ia
lihat dengan mengikuti telunjuk Syekh Nawawi remaja memang terlihat jelas.
Sayyid Utsman merasa takjub dan menyadari bahwa remaja yang bertubuh kecil di
hadapannya itu telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur
basyariyyah. Yang dengan karamah itu, di manapun dia berada Ka'bah akan
tetap terlihat. Dengan penuh hormat Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh kecil Syekh
Nawawi. Sampai saat ini di Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser dan
tidak sesuai aslinya.
Jasad yang Tetap Utuh
Telah menjadi kebijakan
Pemerintah Arab Saudi bahwa
orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang
belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat
lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota dan
lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah
berikutnya terus silih berganti. Kebijakan tersebut dijalankan tanpa pandang
bulu hingga menimpa pula pada makam Syekh Nawawi. Setelah kuburnya genap
berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali
kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan
itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya, yang mereka temukan adalah
satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet dan tidak ada
tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan
kain kafan penutup jasad Syekh Nawawi tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian tersebut
mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian
menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah
strategis lalu diambil, yaitu larangan dari pemerintah untuk membongkar makam
Syekh Nawawi. Jasadnya lalu dikuburkan kembali seperti sediakala, dan hingga
sekarang makam Syekh Nawawi tetap berada di Ma'la, Mekah.
Shalat di Dalam Mulut Ular Besar
Suatu hari ketika dalam perjalanan,
Syekh Nawawi istirahat di sebuah tempat untuk azan kemudian salat. Setelah ia azan
ternyata tidak ada orang yang datang, akhirnya ia qamat lalu salat sendirian.
Usai shalat Syekh Nawawi kembali melanjutkan perjalanan, tapi ketika menengok
ke belakang, ternyata ada seekor ular raksasa dan mulutnya sedang menganga.
Akhirnya ia tersadar bahwa ternyata ia salat di dalam mulut ular yang sangat
besar itu.
Menghasilkan Karya-karya yang Fenomenal
Karamah Syekh Nawawi yang paling
tinggi dapat dirasakan ketika membuka lembar demi lembar Tafsir Munir yang ia
karang. Kitab Tafsir fenomenal tersebut menerangi jalan siapa saja yang ingin
memahami firman Allah. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih,
Kasyifah al-Saja yang menerangkan syariat. Dan ratusan hikmah di dalam kitab
Nashaih al-'Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat
dengan cahaya abadi dari buah tangan Syekh Nawawi al-Bantani.
Wafat
Syekh Nawawi wafat di Mekah pada
tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi. Makamnya terletak di Jannatul Mu'alla, Mekah.
Makam dia bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄
binti Abû Bakar al-Siddîq.
Meski wafat di Jazirah Arab, namun hingga kini setiap tahunnya selalu
diadakan haul atau peringatan wafatnya Syekh Nawawi al-Bantani di tanah air,
tepatnya di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara di Tanara, Serang, asuhan K.H. Ma'ruf Amin. Haul Syekh Nawawi selalu ramai dihadiri para santri Nusantara, bahkan mancanegara.
0 Response to "Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani "
Post a Comment